Konsep Andragogi Knowles: Landasan Teori, Prinsip, dan Relevansinya

Konsep Andragogi Knowles

Blog tentang Pendidikan - Dalam lanskap pendidikan modern, konsep Andragogi Knowles menempati posisi penting sebagai pendekatan alternatif terhadap sistem pembelajaran tradisional yang terlalu berpusat pada guru. Konsep ini berakar pada pemikiran bahwa proses belajar akan jauh lebih bermakna ketika peserta didik diperlakukan sebagai individu dewasa yang memiliki pengalaman, motivasi intrinsik, dan kapasitas reflektif.

Meskipun awalnya dikembangkan dalam konteks pendidikan orang dewasa (adult learning), prinsip-prinsip andragogi mulai mendapat perhatian dalam reformasi pendidikan sekolah, terutama pada jenjang menengah dan atas. Artikel ini menguraikan secara mendalam konsep andragogi Knowles, dari akar filosofisnya hingga implikasi praktis dalam konteks pendidikan formal.

Apa Itu Andragogi?

Istilah andragogi berasal dari bahasa Yunani: andr (dewasa) dan agogos (memimpin). Istilah ini mulai populer di dunia pendidikan berkat Malcolm Knowles (1913–1997), yang memformulasikan andragogi sebagai ilmu dan seni membantu orang dewasa belajar.

Knowles memperkenalkan andragogi sebagai pendekatan yang berbeda dari pedagogi, yang secara tradisional memandang peserta didik (anak-anak) sebagai objek pembelajaran yang bergantung pada otoritas guru. Sebaliknya, andragogi menempatkan peserta didik sebagai subjek pembelajaran yang aktif, mandiri, dan memiliki pengalaman sebagai sumber belajar.

Catatan penting: Knowles tidak sekadar mengganti istilah. Ia menawarkan perubahan paradigma dari pendekatan teacher-centered menjadi learner-centered, dari dependent learning menuju self-directed learning.

Prinsip-prinsip Dasar Konsep Andragogi Knowles

Knowles merumuskan enam asumsi utama tentang karakteristik pembelajar dewasa, yang juga menjadi fondasi dari konsep andragogi:

1. Kebutuhan untuk tahu (Need to Know):

Orang dewasa ingin tahu mengapa mereka perlu belajar sesuatu sebelum bersedia melakukannya.

2. Konsep diri (Self-Concept):

Mereka memiliki kebutuhan untuk diperlakukan sebagai individu otonom yang mampu mengatur pembelajaran mereka sendiri.

3. Pengalaman sebagai sumber belajar (Experience):

Pengalaman sebelumnya menjadi modal utama dalam proses belajar yang bersifat reflektif dan kontekstual.

4. Kesiapan untuk belajar (Readiness to Learn):

Orang dewasa lebih siap belajar ketika mereka merasakan kebutuhan yang berhubungan langsung dengan peran hidup mereka.

5. Orientasi belajar yang berpusat pada masalah (Problem-Centered):

Mereka cenderung lebih tertarik pada pembelajaran yang membantu memecahkan masalah nyata dibandingkan sekadar menghafal isi kurikulum.

6. Motivasi internal (Internal Motivation):

Dorongan belajar datang lebih banyak dari dalam diri (nilai, rasa percaya diri, kepuasan pribadi) daripada faktor eksternal seperti nilai atau hukuman.

Implikasi langsung: Pendekatan ini mendorong desain pembelajaran yang fleksibel, kontekstual, berbasis proyek, dan memberi ruang refleksi.

Relevansi Konsep Andragogi Knowles dalam Konteks Sekolah

Meskipun dirancang untuk orang dewasa, banyak prinsip dalam konsep andragogi Knowles bisa diadaptasi secara kontekstual dalam pendidikan sekolah, terutama pada siswa SMP dan SMA. Di usia ini, siswa mulai menunjukkan ciri-ciri perkembangan kognitif dan sosial yang selaras dengan asumsi Knowles:

  1. Mereka mengembangkan kemandirian belajar dan ingin mendapat peran lebih aktif dalam proses pembelajaran.
  2. Mereka mulai mengkritisi relevansi materi dan lebih termotivasi ketika topik terkait dengan pengalaman dan kehidupan nyata mereka.
  3. Mereka semakin mampu melakukan refleksi dan evaluasi diri, serta siap berdiskusi tentang bagaimana dan mengapa mereka belajar.

Contoh penerapan: Siswa SMA yang dilibatkan dalam proyek sosial berbasis komunitas akan mengembangkan empati, keterampilan problem solving, dan refleksi diri secara lebih alami dibandingkan hanya mendengarkan ceramah tentang “perubahan sosial”.

Aplikasi Praktis dalam Pembelajaran Sekolah

Berikut beberapa strategi pedagogis yang bisa digunakan untuk menerapkan konsep andragogi Knowles secara kontekstual:

  1. Diskusi reflektif: buka pembelajaran dengan pertanyaan yang menggugah relevansi pribadi, seperti: “Pernahkah kalian mengalami situasi serupa?”
  2. Studi kasus berbasis kehidupan nyata: gunakan isu-isu aktual yang dekat dengan siswa (contoh: polusi, bullying, penggunaan media sosial).
  3. Project-based learning: minta siswa menyusun proyek yang memecahkan masalah nyata, baik di sekolah maupun lingkungan mereka.
  4. Self-assessment dan peer feedback: bantu siswa mengembangkan metakognisi dan keterampilan evaluatif.
  5. Rencana belajar mandiri (learning contract): beri kesempatan siswa menetapkan target, strategi, dan indikator keberhasilan belajarnya sendiri, dengan bimbingan guru.

Kritik dan Batasan

Meski banyak keunggulan, pendekatan ini tidak bebas dari kritik. Sejumlah peneliti menilai bahwa konsep andragogi Knowles cenderung terlalu idealis jika tidak disesuaikan dengan konteks sosial, budaya, dan kesiapan siswa.

Catatan: Tidak semua siswa SMA sudah cukup matang secara psikososial untuk belajar secara mandiri. Oleh karena itu, pendekatan ini perlu digabungkan dengan struktur pedagogi konvensional, dalam bentuk hibrida.

Penutup

Konsep andragogi Knowles mengajarkan kita bahwa pembelajaran bukan tentang “mengisi ember kosong”, tetapi tentang menyalakan api berpikir dalam diri peserta didik. Dengan memahami prinsip-prinsipnya, guru dapat membangun kelas yang tidak hanya fokus pada hasil, tetapi juga menghargai proses belajar yang aktif, reflektif, dan relevan dengan kehidupan nyata siswa.

Di era Kurikulum Merdeka, pendekatan andragogi bukan sekadar relevan, tetapi menjadi kebutuhan mendesak untuk membentuk generasi pembelajar sepanjang hayat (lifelong learners).

Referensi;

  • Knowles, M. S. (1984). The Adult Learner: A Neglected Species. Houston: Gulf Publishing.
  • Merriam, S. B., & Bierema, L. L. (2014). Adult Learning: Linking Theory and Practice. Jossey-Bass.
  • Illeris, K. (2009). Contemporary Theories of Learning. Routledge.
  • Henschke, J. A. (2011). “Considerations Regarding the Future of Andragogy.” Adult Learning, 22(1).
  • Dirjen GTK Kemendikbudristek (2022). Praktik Baik Pembelajaran Diferensiasi di Kurikulum Merdeka.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url