Analisa Petunjuk Teknis BOS Tahun 2025: Penjelasan Lengkap
Saba Bolak - Kalau Bapak/Ibu pernah duduk di ruang guru atau ikut rapat sekolah, kalian pasti tahu satu hal yang selalu jadi topik panas yaitu anggaran sekolah. Setiap awal tahun ajaran, kepala sekolah dan bendahara biasanya mulai sibuk menghitung-hitung, menyusun Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS), dan bersiap menghadapi berbagai tuntutan administrasi.
Tahun 2025 ini, hadir aturan baru yang cukup menggugah dinamika tersebut, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP).
Aturan ini hadir menggantikan regulasi sebelumnya, dengan membawa sejumlah aturan baru. Tapi, yang paling penting bukan sekadar perubahan pasal, melainkan niat di balik perubahan itu bagaimana dana BOS bisa benar-benar jadi motor penggerak pendidikan yang bermutu, merata, dan manusiawi.
Dana BOS Bukan Sekadar Transfer Uang
Banyak orang awam berpikir, dana BOS itu hanya sekadar uang dari pusat yang ditransfer ke sekolah. Padahal lebih dari itu, dana BOS adalah simbol kehadiran negara dalam mencerdaskan bangsa. Maka, pengelolaannya pun tak bisa asal-asalan. Permendikdasmen nomor 8 tahun 2025 hadir dengan membawa BOS ke arah yang lebih fleksibel tapi tetap akuntabel.
Coba bayangkan begini, seorang kepala sekolah di pelosok Sumatera ingin memperbaiki toilet sekolah yang rusak parah. Di aturan sebelumnya, ia harus mengatur strategi agar perbaikan itu masuk kategori yang bisa dibiayai BOS. Nah, di aturan baru ini, ruang geraknya lebih luas, tapi tetap dikawal dengan sistem pelaporan yang ketat agar tidak terjadi penyimpangan.
Siapa Saja yang Dapat Dana BOS?
Permendikdasmen ini mengatur jenis dana yang mencakup BOP PAUD, BOS SD-SMP-SMA/SMK/SLB, dan BOP Kesetaraan (Paket A, B, C). Masing-masing terbagi lagi menjadi Reguler dan Kinerja. Artinya, pemerintah tidak hanya memberikan dana berdasarkan jumlah siswa, tapi juga mempertimbangkan performa satuan pendidikan.
Contohnya, sebuah SMA di daerah Penulis yang terbukti konsisten dalam manajemen transparan, pencapaian siswa, dan laporan yang rapi bisa mendapatkan BOS Kinerja. Sebaliknya, sekolah yang hanya menunggu dana datang tanpa strategi peningkatan mutu, ya hanya akan menerima dana reguler sesuai jumlah siswa.
Ini penting. Sebab kalau kita ingin pendidikan kita naik kelas, maka pengelolaan keuangannya juga harus naik kelas. Tidak bisa lagi ada sekolah yang hanya mengandalkan dana BOS untuk operasional dasar tanpa upaya inovasi.
Penyaluran Bertahap, Tapi Jangan Lambat
Salah satu hal menarik dalam aturan baru ini adalah penyaluran dana dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap I paling lambat 30 Juni, dan tahap II paling lambat 31 Oktober. Ini penting supaya sekolah tidak menumpuk kegiatan di akhir tahun atau justru kehabisan dana di awal semester.
Namun, kita tahu realitas di lapangan kadang berbeda. Ada sekolah yang masih menunggu verifikasi NISN siswa hingga Maret, atau terkendala sistem yang error saat input ARKAS. Nah, aturan ini mendorong sekolah untuk lebih tertib administrasi sejak awal tahun ajaran, bahkan diminta menyusun RKAS mulai bulan September tahun sebelumnya.
Seolah pemerintah ingin mengatakan: “Jangan tunggu dana cair dulu, baru bingung mau dipakai apa.”
Perencanaan dan Pelaporan
Satu bagian yang cukup menantang dalam aturan ini adalah pelaporan. Sekolah harus mencatat semua transaksi dengan detail, menggunakan aplikasi ARKAS versi terbaru. Ini langkah baik, karena mendorong akuntabilitas. Tapi, jujur saja, tidak semua guru atau kepala sekolah nyaman dengan teknologi.
Di sinilah tantangan terjadi. Kita perlu pelatihan yang tepat, pendampingan intensif, dan jangan lupa pengakuan atas kerja tambahan para guru yang terlibat mengelola keuangan sekolah. Jangan sampai sekolah dituntut rapi dan modern, tapi SDM-nya dibiarkan berjuang sendiri tanpa dukungan.
Analoginya seperti meminta nelayan menggunakan GPS modern, tapi tidak pernah diajari cara mengoperasikannya.
Alur Penggunaan Dana
Dalam juknis terbaru ini, ada dua batasan penggunaan yang patut diapresiasi:
- Minimal 10% dana BOS wajib dialokasikan untuk pengembangan perpustakaan.
- Maksimal 20% (untuk sekolah negeri) dan 40% (untuk swasta) bisa digunakan untuk honor tenaga pendidik non-PNS
Ini menarik karena pemerintah ingin menyeimbangkan antara aspek sumber daya manusia dan pengembangan literasi. Di tengah hiruk pikuk digitalisasi, keberadaan perpustakaan kadang terpinggirkan. Padahal, anak-anak kita tetap butuh ruang baca yang nyaman dan akses buku yang bermutu.
Soal honor, ini juga penting. Kita sering mendengar cerita guru honorer yang digaji dari dana BOS, tapi pengelolaannya asal-asalan. Di aturan ini, pemerintah ingin memastikan guru honorer tetap dibayar, tapi tidak sampai mengorbankan program lain di sekolah.
Baca Juga: Contoh SK Penunjukan Bendahara BOS
Keberadaan Tim BOS Sekolah
Satu hal yang layak diapresiasi dari aturan ini adalah kewajiban membentuk Tim BOS Sekolah. Tidak lagi hanya kepala sekolah dan bendahara yang mengatur segalanya, tapi juga melibatkan guru, perwakilan orang tua, dan komite sekolah.
Langkah ini sederhana tapi penting. Karena transparansi lahir dari partisipasi. Masyarakat punya hak tahu, dan sekolah punya kewajiban menjelaskan. Ini akan meminimalisasi kecurigaan atau isu negatif yang sering muncul di balik pengelolaan dana BOS.
Larangan yang Harus Diketahui Semua Sekolah
Ada beberapa sekolah mungkin belum tahu bahwa ada 15 jenis larangan dalam penggunaan dana BOS. Larangan-larangan tersebut adalah:
- Dilarang menyimpan dana dalam bentuk deposito
- Dilarang mentransfer dana ke rekening pribadi
- Dilarang membayar kegiatan yang tidak ada dalam RKAS
Saya rasa, ini langkah preventif yang bagus. Karena meski kita ingin percaya semua orang jujur, sistem tetap harus membatasi ruang untuk manipulasi. Pengawasan yang baik bukan berarti tidak percaya, tapi justru menjaga kepercayaan itu tetap terhormat.
Menuju Sekolah yang Lebih Berdaya
Melalui Permendikdasmen Nomor 8 Tahun 2025, kita melihat sebuah upaya serius pemerintah untuk menjadikan dana BOS sebagai instrumen pemberdayaan sekolah. Bukan sekadar dana operasional, tapi modal sosial, moral, dan profesional.
Namun, regulasi yang bagus tetap harus ditopang oleh:
- SDM yang kompeten,
- Sistem yang responsif,
- Kultur sekolah yang terbuka serta kolaboratif.
Karena pada akhirnya, pendidikan itu bukan soal administrasi atau laporan keuangan, tapi tentang bagaimana kita membangun masa depan anak-anak Indonesia.
Untuk menganalisanya sendiri, Bapak/Ibu bisa unduh filenya disini: Juknis BOS Tahun 2025
Kesimpulan
Permendikdasmen No.8 Tahun 2025 bukan sekadar aturan teknis, tapi cermin dari arah pendidikan kita ke depan. Bahwa pengelolaan keuangan sekolah tak bisa dilakukan asal-asalan, tapi perlu pendekatan strategis, kolaboratif, dan penuh tanggung jawab.
Dana BOS harus dirasakan manfaatnya oleh semua pihak—guru, siswa, orang tua—bukan hanya muncul sebagai angka di laporan RKAS. Karena pada akhirnya, dana BOS bukan hanya soal berapa rupiah yang dikucurkan, tapi seberapa besar perubahan yang dihasilkan.