Mengapa Akreditasi Sekolah Itu Penting? Begini Penjelasan Lengkapnya
Blog tentang Pendidikan - Setiap kali kita masuk ke sebuah sekolah, sering kali di lobi atau ruang tamu terpajang pigura besar berisi sertifikat akreditasi. Sebagian orang tua mungkin sekadar lewat tanpa memperhatikan detailnya. Ada juga yang menganggap itu hanya formalitas belaka. Namun, di balik selembar kertas berlogo resmi itu, ada cerita panjang tentang mutu, akuntabilitas, dan masa depan anak-anak Indonesia.
Akreditasi sekolah bukan sekadar formalitas administratif. Ia adalah sistem penjaminan mutu eksternal yang diatur undang-undang, dikelola lembaga independen, dan menjadi rujukan penting bagi orang tua, masyarakat, hingga pemerintah dalam menilai kelayakan sebuah satuan pendidikan. Nah, pertanyaannya, mengapa hal ini begitu penting? Mari kita bedah satu per satu.
1. Landasan Hukum
Dasar hukum akreditasi di Indonesia sangat jelas, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003, Pasal 60) tertuang jelas bahwa setiap satuan pendidikan wajib menjalani proses akreditasi. Artinya, sekolah tidak bisa memilih untuk ikut atau tidak. Akreditasi adalah mandat, bukan sekadar opsi.
Seiring waktu, aturan pelaksanaannya juga semakin spesifik. Melalui Permendikbudristek No. 38 Tahun 2023, tugas akreditasi untuk PAUD, SD, SMP, SMA, hingga SMK kini berada di bawah koordinasi BAN-PDM (Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Menengah). Lembaga inilah yang mengatur prosedur, instrumen, serta tindak lanjut hasil akreditasi.
Dengan kerangka hukum yang kuat, akreditasi menjadi instrumen penjaminan mutu eksternal dan akuntabilitas publik. Jadi, jika sebuah sekolah sudah terakreditasi, maka ada jaminan bahwa sekolah tersebut memenuhi standar layanan minimal yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Jadi Interpretasi seperti ini, akreditasi berfungsi seperti “cek kesehatan” bagi sekolah. Sama seperti rumah sakit yang harus punya izin dan standar mutu, sekolah pun tidak bisa berjalan tanpa proses evaluasi resmi ini.
2. Transparansi
Dalam memilih sekolah untuk anaknya, orang tua tentu ingin memastikan bahwa layanan pendidikan yang diberikan benar-benar layak. Nah, akreditasi menyediakan data yang bisa diverifikasi publik.
Melalui sertifikat akreditasi, masyarakat dapat mengetahui peringkat sekolah (misalnya A, B, atau C), masa berlaku akreditasi, hingga bukti resmi bahwa sekolah tersebut sudah dievaluasi. Informasi ini tidak lagi terbatas pada kertas di dinding lobi. Kini, mereka bisa mengecek langsung status akreditasi sekolah melalui portal resmi BAN-PDM atau Data Referensi Kemendikbud.
Keterbukaan ini sangat penting. Tanpa transparansi, orang tua hanya bisa mengandalkan reputasi mulut ke mulut atau promosi sekolah. Dengan adanya sistem akreditasi, mereka punya patokan objektif dalam mengambil keputusan.
Di era digital, kepercayaan publik pada lembaga pendidikan semakin erat kaitannya dengan keterbukaan data. Semakin mudah diakses, semakin tinggi pula tingkat kepercayaan masyarakat.
3. Perbaikan Berkelanjutan
Dulu, akreditasi sering dianggap hanya soal “rapi berkas”. Sekolah sibuk menyiapkan dokumen tebal untuk menyambut asesor. Begitu visitasi selesai, semua kembali seperti biasa.
Namun, sejak hadirnya Instrumen Akreditasi Satuan Pendidikan (IASP) 2020, paradigma itu berubah. Fokus penilaian tidak lagi hanya pada kelengkapan dokumen, melainkan pada kinerja nyata sekolah.
IASP 2020 menilai empat aspek utama:
- Mutu lulusan (apakah siswa mencapai profil karakter dan capaian belajar yang diharapkan),
- Proses pembelajaran (perencanaan, pelaksanaan, asesmen),
- Mutu pendidik dan tenaga kependidikan,
- Tata kelola/manajemen berbasis data.
Dengan pendekatan ini, sekolah tidak bisa hanya “berpura-pura bagus di atas kertas”. Evaluasi dilakukan berbasis bukti nyata, baik berupa praktik pembelajaran di kelas, hasil asesmen, maupun sistem pengelolaan.
Perubahan ini memaksa sekolah untuk terus bergerak, tidak berhenti di satu titik. Artinya, akreditasi bukan ujian sekali seumur hidup, melainkan mekanisme pembelajaran institusional yang berkelanjutan.
4. Akuntabilitas
Akreditasi bukan hanya tentang memenuhi standar nasional. Lebih dari itu, ia adalah cara negara memastikan bahwa sekolah benar-benar menjalankan fungsi sosialnya: memberikan pendidikan bermutu untuk semua anak.
Laporan OECD tentang evaluasi pendidikan menunjukkan bahwa sistem akreditasi yang transparan dan berbasis data mampu mendorong peningkatan kualitas pembelajaran. Mengapa? Karena sekolah memiliki kewajiban moral sekaligus administratif untuk mempertanggungjawabkan hasilnya kepada masyarakat.
Dengan adanya akreditasi, sekolah dituntut untuk:
- Menyusun laporan secara terbuka,
- Menindaklanjuti temuan dari asesor,
- Melakukan evaluasi internal secara rutin.
Hasilnya, kualitas pembelajaran meningkat, dan masyarakat lebih percaya pada institusi pendidikan tersebut.
5. Integrasi Data
Di era digital, akreditasi juga mengalami transformasi. Jika dulu prosesnya identik dengan tumpukan kertas, kini BAN-PDM mulai memanfaatkan integrasi data dari Dapodik/EMIS serta Rapor Pendidikan.
Dengan sistem ini, sekolah tidak perlu lagi menyiapkan semua dari nol. Banyak data sudah otomatis terhubung dari sistem pusat. Bahkan, untuk sekolah dengan risiko rendah, akreditasi bisa dilakukan dengan automasi perpanjangan. Artinya, jika indikator mutu mereka konsisten baik, masa berlaku akreditasi bisa diperpanjang tanpa harus melalui visitasi ulang yang melelahkan.
Selain efisiensi, cara ini juga memungkinkan pemerintah memantau mutu pendidikan secara lebih real-time melalui dashboard monitoring.
Kita Analogikan seperti ini, kalau dulu akreditasi seperti ujian nasional 4 tahun sekali, kini lebih mirip “check-up kesehatan rutin” yang datanya terus diperbarui secara otomatis.
Apa Saja yang Dinilai dalam Akreditasi?
Secara ringkas, akreditasi sekolah menilai empat dimensi utama:
- Mutu lulusan: apakah siswa memiliki karakter dan capaian belajar sesuai standar.
- Proses pembelajaran: bagaimana perencanaan, pelaksanaan, dan asesmen dilakukan.
- Mutu pendidik dan tenaga kependidikan: kualifikasi, kompetensi, serta pengembangan profesional berkelanjutan.
- Manajemen dan tata kelola: mencakup perencanaan berbasis data, layanan inklusif, perlindungan anak, keselamatan, hingga kemitraan.
Dengan kata lain, akreditasi tidak hanya menilai hasil akhir, tetapi juga proses dan sistem yang menopang pencapaian itu.
Manfaat Praktis Akreditasi Bagi Pemangku Kepentingan
Jika dianalogikan, akreditasi adalah “cermin besar” yang tidak hanya menunjukkan wajah sekolah, tapi juga memberi petunjuk arah bagi siapa saja yang berkepentingan dengan pendidikan. Berikut manfaatnya bagi tiga kelompok utama:
- Orang tua & masyarakat: Akreditasi jadi kompas dalam memilih sekolah yang aman dan berkualitas, bukan sekadar percaya pada promosi. Status akreditasi memberi jaminan mutu minimal dan transparansi yang bisa diakses publik.
- Kepala sekolah & guru: Hasil akreditasi ibarat peta jalan. Dari sana terlihat kekuatan dan kelemahan sekolah, sehingga program perbaikan, pelatihan guru, hingga manajemen sekolah bisa disusun lebih terarah.
- Pemerintah: Akreditasi adalah instrumen akuntabilitas. Data hasilnya dipakai untuk pembinaan, distribusi dana berbasis kinerja (misalnya BOS Kinerja), dan pemetaan mutu pendidikan di daerah.
Cara Mengecek Sertifikat Akreditasi Sekolah
- 1. Masuk ke laman resmi BAN-PDM atau Data Referensi Kemendikbud.
- 2. Cari sekolah yang dituju berdasarkan nama atau NPSN.
- 3. Periksa status akreditasi, masa berlaku, dan unduh sertifikat bila tersedia.
Dengan cara ini, orang tua bisa memastikan klaim sekolah sesuai dengan data resmi.
Kesalahpahaman Seputar Akreditasi
Meski sudah berjalan puluhan tahun, akreditasi sekolah sering disalahpahami. Tidak sedikit orang tua, guru, bahkan pengelola sekolah yang punya persepsi keliru. Berikut beberapa miskonsepsi yang perlu diluruskan:
1. Akreditasi itu ranking sekolah
Banyak yang mengira akreditasi sama dengan lomba mencari juara. Padahal, tidak ada piala atau posisi peringkat di sini. Akreditasi menilai apakah layanan pendidikan sebuah sekolah sudah layak, aman, dan sesuai standar minimum mutu. Artinya, fokusnya pada pemenuhan syarat dasar, bukan kompetisi antar sekolah.
2. Akreditasi hanya soal dokumen
Dulu, memang ada anggapan akreditasi hanya mengumpulkan berkas tebal. Tapi sejak diberlakukannya Instrumen Akreditasi Satuan Pendidikan (IASP) 2020, paradigma ini berubah total. Penilaian tidak lagi bertumpu pada dokumen semata, melainkan berbasis bukti nyata dan kinerja lapangan: bagaimana proses belajar berlangsung, bagaimana budaya sekolah terbangun, hingga seberapa jauh partisipasi orang tua dan masyarakat.
3. Kalau tidak akreditasi, sekolah tetap bisa jalan.
Ini salah kaprah. Akreditasi bukan pilihan, melainkan mandat undang-undang. Sekolah yang tidak terakreditasi berisiko kehilangan legitimasi publik, bahkan bisa kesulitan dalam mengakses berbagai program pemerintah. Bagi orang tua, sekolah yang tak punya akreditasi sering dianggap “tidak jelas statusnya”. Jadi, keberadaan akreditasi bukan sekadar formalitas, melainkan syarat legal dan moral.
4. Sertifikat akreditasi berlaku selamanya
Anggapan ini juga keliru. Sertifikat akreditasi memiliki masa berlaku tertentu dan harus diperbarui secara berkala. Meski kini ada mekanisme reakreditasi otomatis untuk sekolah berisiko rendah (misalnya, yang sudah konsisten menjaga mutu), tetap saja ada evaluasi berkesinambungan. Hal ini penting agar kualitas sekolah tidak berhenti di satu titik, melainkan terus bergerak maju.
Rekomendasi Aksi untuk Sekolah
Agar akreditasi tidak sekadar pajangan di dinding, sekolah bisa menjadikannya alat perbaikan nyata dengan langkah-langkah berikut:
1. Audit internal triwulanan
Cek kekuatan dan kelemahan sekolah secara rutin berdasarkan indikator IASP 2020, fokus pada mutu nyata di kelas dan tata kelola.
2. Manfaatkan Rapor Pendidikan
Gunakan data untuk merancang program kerja tahunan, menentukan pelatihan guru, dan prioritas perbaikan berbasis bukti.
3. Perbarui data Dapodik/EMIS
Pastikan semua data valid dan mutakhir agar hasil akreditasi mencerminkan kondisi sebenarnya.
4. Transparansi kepada orang tua & masyarakat
Tampilkan status akreditasi secara terbuka, membangun kepercayaan dan menunjukkan komitmen sekolah terhadap mutu.
Dengan empat langkah ini, akreditasi jadi lebih dari sekadar formalitas—menjadi alat navigasi mutu yang mendorong perbaikan berkelanjutan.
Penutup
Pada akhirnya, akreditasi adalah bahasa bersama mutu antara sekolah, orang tua, dan negara. Ia memastikan bahwa setiap anak Indonesia mendapatkan hak belajar yang layak, terukur, dan transparan.
Dengan regulasi yang jelas, instrumen yang semakin berorientasi pada kinerja, serta integrasi data digital, akreditasi kini bukan lagi sekadar formalitas. Ia menjadi instrumen penting untuk mendorong sekolah terus belajar dan berkembang.
Masa depan akreditasi bahkan diprediksi akan semakin real-time, berbasis data, dan kolaboratif. Asesor manusia tetap dibutuhkan, tetapi kini mereka didukung oleh data harian yang lebih akurat. Jadi, jangan anggap remeh pigura sertifikat di dinding sekolah. Di baliknya, ada cerita panjang tentang komitmen mutu pendidikan bangsa.