Membongkar Perbedaan ANBK Literasi dan Numerasi
Blog tentang Pendidikan - Sejak pertama kali diluncurkan, Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) sering menjadi bahan pembicaraan di dunia pendidikan. Bukan hanya karena formatnya yang berbasis komputer, tetapi lebih karena pendekatannya yang berbeda dari ujian konvensional.
ANBK tidak lagi mengukur seberapa banyak siswa bisa menghafal, melainkan menilai sejauh mana mereka mampu berpikir, menganalisis, dan menggunakan pengetahuan dasar dalam konteks nyata.
Ada dua domain utama yang sering dibandingkan dan sekaligus membingungkan banyak pihak yaitu literasi membaca dan numerasi. Keduanya dianggap sebagai “kompetensi minimum” yang wajib dikuasai siswa untuk bertahan di era modern. Namun, apa sebenarnya perbedaan keduanya? Mengapa keduanya sama-sama penting? Dan bagaimana guru serta siswa sebaiknya menyiapkan diri?
Pada artikel ini, Penulis akan mengulas secara tuntas perbedaan ANBK literasi dan numerasi, mulai dari kompetensi yang diukur, jenis soal, strategi menjawab, hingga tujuan besar di balik asesmen nasional.
Kompetensi yang Diukur
Kalau dirangkum sederhana, literasi membaca mengukur sejauh mana siswa bisa memahami dan mengolah informasi dari teks tertulis, sedangkan numerasi mengukur kemampuan mereka memecahkan masalah nyata dengan alat matematika.
Namun, mari kita bongkar lebih dalam.
Literasi Membaca
Dalam konteks ANBK, literasi membaca tidak berhenti pada kemampuan mengeja atau memahami arti kata. Kompetensi yang diukur jauh lebih kompleks:
- Menemukan informasi penting. Siswa diminta mengenali detail dari teks, misalnya siapa tokoh dalam cerita atau apa fakta utama dalam sebuah artikel.
- Menginterpretasi makna. Mereka perlu memahami maksud tersirat, menyimpulkan ide pokok, hingga membandingkan informasi.
- Mengevaluasi isi. Siswa juga harus menilai apakah informasi dalam teks valid, konsisten, atau relevan.
Jenis teks yang digunakan pun beragam, tidak hanya fiksi (cerita pendek, novel, dongeng), tetapi juga teks informasi (artikel, laporan, esai). Hal ini membuat literasi membaca menjadi ujian berpikir kritis, bukan sekadar soal bahasa.
Lalu Bagaimana dengan Numerasi?
Sementara itu, numerasi menuntut siswa menggunakan konsep matematika sebagai “alat berpikir”. Fokusnya bukan rumus rumit, melainkan pemecahan masalah kontekstual.
- Bilangan. Bagaimana siswa memahami operasi hitung dalam situasi nyata, misalnya menghitung biaya belanja atau pembagian hasil panen.
- Geometri dan pengukuran. Mampukah siswa menentukan luas lantai, volume wadah, atau jarak tempuh perjalanan?
- Data dan ketidakpastian. Bisa tidak mereka membaca grafik, menganalisis tabel, atau memperkirakan peluang dari data?
- Aljabar. Bagaimana siswa mengenali pola dan hubungan antarvariabel, lalu menerjemahkannya ke model matematika sederhana?
Di sinilah perbedaannya dengan ujian matematika klasik. Numerasi tidak menekankan kecepatan menghitung, tetapi pemahaman konsep untuk menyelesaikan masalah sehari-hari.
Bentuk dan Struktur Soal
Banyak siswa yang kaget ketika pertama kali menghadapi soal ANBK. Pasalnya, bentuk soal yang digunakan tidak melulu pilihan ganda.
Soal Literasi
Dalam domain literasi, stimulus utama adalah teks bacaan. Setelah membaca, siswa akan disuguhi pertanyaan dengan beragam format:
- Pilihan ganda tunggal. Jawaban tepat hanya satu.
- Pilihan ganda kompleks. Lebih dari satu jawaban benar, dan siswa harus memilih semuanya.
- Menjodohkan. Cocokkan informasi dari dua kolom, misalnya siapa tokoh dengan tindakannya.
- Isian singkat. Menuliskan jawaban berupa kata, angka, atau frasa.
- Uraian. Menjawab dengan kalimat sendiri berdasarkan pemahaman bacaan.
Soal literasi lebih menekankan pada kemampuan membaca teks secara kritis. Itu sebabnya panjang teks bisa berbeda-beda sesuai jenjang sekolah, dari teks pendek di SD hingga artikel analisis di SMA.
Soal Numerasi
Pada numerasi, stimulusnya bisa berupa soal cerita, tabel, grafik, atau ilustrasi kontekstual. Siswa kemudian diminta memproses informasi tersebut dengan cara:
- Menafsirkan data dalam grafik atau diagram.
- Menghitung berdasarkan informasi yang tersedia.
- Membuat perkiraan logis dari situasi nyata.
- Menyelesaikan soal cerita dengan model matematika.
Perbedaan mencolok: untuk numerasi, siswa diperbolehkan menggunakan kertas coretan untuk menghitung. Sedangkan untuk literasi, kertas itu tidak diperlukan.
Baca Juga: Download File Berkas ANBK Paling Lengkap
Pendekatan Pembelajaran
Jika kita bicara soal ujian, maka kita juga harus bicara soal pembelajaran. Bagaimana guru menyiapkan siswa agar siap menghadapi literasi dan numerasi?
Literasi
Guru tidak bisa lagi hanya mengandalkan buku paket Bahasa Indonesia. Literasi menuntut siswa terbiasa membaca berbagai jenis bacaan—dari artikel digital, berita, hingga buku nonfiksi.
Strategi yang bisa digunakan antara lain:
- Read aloud. Guru membacakan teks keras-keras untuk melatih siswa memahami intonasi dan makna.
- Diskusi teks. Siswa diajak mendiskusikan isi bacaan, menemukan ide pokok, serta menghubungkan dengan pengalaman mereka.
- Proyek berbasis bacaan. Misalnya membuat rangkuman artikel atau membandingkan dua teks berbeda.
Dengan cara ini, siswa tidak hanya sekadar membaca, tetapi juga berpikir kritis dan reflektif terhadap bacaan.
Numerasi
Di sisi lain, numerasi justru butuh pendekatan berbeda. Banyak guru selama ini mengajar matematika dengan rumus “kering” tanpa konteks. Padahal, numerasi justru menekankan pemecahan masalah nyata.
Beberapa pendekatan yang efektif:
- Menggunakan soal sehari-hari, seperti menghitung biaya listrik atau luas sawah.
- Memanfaatkan data nyata, seperti tabel hasil panen atau grafik curah hujan.
- Melibatkan permainan atau eksperimen sederhana agar siswa lebih aktif.
Intinya, numerasi bukan matematika “hafalan rumus”, tetapi keterampilan berpikir yang menempel dalam kehidupan.
Strategi Menjawab Soal
Tidak kalah penting dari pembelajaran adalah strategi menjawab soal.
Literasi
Dalam literasi, siswa harus disiplin membaca. Beberapa trik yang bisa digunakan:
- Skimming. Membaca cepat untuk menangkap ide pokok.
- Scanning. Membaca detail untuk mencari kata kunci tertentu.
- Menandai teks. Mencatat poin penting atau menggarisbawahi kalimat kunci.
Kesalahan umum siswa adalah langsung menjawab tanpa membaca teks secara utuh. Padahal, ANBK sering menjebak dengan pilihan jawaban yang tampak benar tetapi tidak sesuai konteks bacaan.
Numerasi
Dalam numerasi, strategi populer adalah D-A-F-S:
- Deteksi apa pertanyaan inti dalam soal.
- Amati informasi yang tersedia: angka, grafik, tabel.
- Fokus hanya pada data relevan, jangan terjebak informasi pengalih.
- Selesaikan dengan langkah matematika yang tepat.
Selain itu, siswa juga perlu mengatur waktu. Jika menemukan soal sulit, jangan dihabiskan terlalu lama. Lebih baik lanjut ke soal berikutnya, lalu kembali lagi di akhir.
Apa Tujuan Asesmen Nasional ini?
Salah satu miskonsepsi terbesar adalah anggapan bahwa ANBK bertujuan memberi nilai individu seperti ujian nasional dulu. Itu salah kaprah, padahal sebenarnya kegiatan ANBK ini bukan untuk menentukan lulus atau tidaknya siswa.
Tujuan utama ANBK adalah mengukur mutu pendidikan di tingkat sekolah dan daerah. Data hasil asesmen digunakan untuk:
- Mengevaluasi apakah siswa sudah menguasai literasi dan numerasi dasar.
- Menjadi bahan refleksi bagi guru dan sekolah untuk memperbaiki proses pembelajaran.
- Memberi gambaran bagi pemerintah tentang kondisi nyata pendidikan di Indonesia.
Dengan kata lain, ANBK adalah alat diagnosis, bukan palu vonis. Data yang terkumpul diharapkan menjadi dasar kebijakan yang lebih tepat sasaran, baik dalam perbaikan kurikulum maupun strategi pengajaran.
Mengapa Literasi dan Numerasi Sama-sama Penting?
Sering muncul pertanyaan: mana yang lebih penting, literasi atau numerasi? Jawabannya sederhana: keduanya sama-sama vital.
- Tanpa literasi membaca, siswa akan kesulitan memahami materi pelajaran lain, dari sains hingga sejarah.
- Tanpa numerasi, mereka akan gagap menghadapi data dan perhitungan yang kian mendominasi kehidupan modern.
Di era banjir informasi dan big data, kedua kemampuan ini menjadi fondasi literasi abad ke-21.
Penutup
Perbedaan literasi dan numerasi dalam ANBK sesungguhnya menggambarkan perubahan paradigma besar dalam pendidikan kita. Ujian kini tidak lagi sekadar “siapa paling banyak hafal rumus atau definisi”, melainkan “siapa yang bisa berpikir, menganalisis, dan menyelesaikan masalah nyata”.
Bagi guru, ini adalah panggilan untuk mengubah pola mengajar. Bagi siswa, ini adalah kesempatan melatih kemampuan hidup nyata, bukan sekadar mengejar nilai. Dan bagi orang tua, ini adalah pengingat bahwa literasi dan numerasi adalah bekal penting anak menghadapi masa depan.
Dengan memahami perbedaan keduanya, kita bisa lebih bijak menyiapkan generasi muda yang bukan hanya pintar di atas kertas, tetapi juga tangguh menghadapi dunia nyata.