Peran Anak Muda dalam Merancang Identitas Nasional

Blog tentang Pendidikan - Ketika kita membicarakan tentang Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, yang biasanya langsung terbayang adalah bendera merah putih, upacara bendera, lomba 17-an, dan tentu saja logo peringatan resmi dari pemerintah. Namun tahun ini, menjelang perayaan HUT RI ke-80, ada yang terasa berbeda. Bukan hanya dari desainnya yang tampak minimalis dan modern, tapi juga dari siapa yang berdiri di baliknya dan bagaimana proses kreatif itu dibentuk.

Di sinilah cerita menjadi menarik, sebab logo resmi HUT RI ke-80 bukan hanya hasil desain semata, melainkan hasil gotong royong simbolik antara negara dan generasi muda. Dan wajah dari gerakan ini adalah Bram Patria Yoshugi, seorang desainer muda yang karyanya berhasil terpilih melalui sayembara nasional. Sebuah kemenangan yang tidak hanya membanggakan secara pribadi, tetapi juga mengukuhkan bahwa suara anak muda bisa, dan memang seharusnya, punya tempat dalam membentuk identitas nasional.

Simbol Tak Sekadar Visual

Logo HUT RI ke-80 yang diluncurkan pada 23 Juli 2025 di Istana Negara terlihat simpel hanya angka 8 dan 0 dalam komposisi merah putih. Namun, sebagaimana peribahasa Jawa mengatakan, "jer basuki mawa bea" segala yang baik lahir dari proses. Maka dari itu, memahami makna dari desain ini lebih dalam akan membuat kita sadar bahwa logo ini lebih dari sekadar tampilan.

Angka 8 dan 0 yang menyatu membentuk simbol infinity (tak terbatas) menyiratkan makna bahwa perjuangan bangsa ini belum selesai. Kemerdekaan bukan garis akhir, tapi awal dari perjalanan panjang yang terus berkembang. Ini bukanlah sekadar angka tahun perayaan, tapi refleksi dari kontinuitas semangat perjuangan.

Ditambah lagi, ada garis merah yang membelah angka, yang menurut Bram, melambangkan arah kesejahteraan rakyat. Sebuah pesan yang relevan di tengah isu kesenjangan sosial dan kebutuhan akan keadilan pembangunan yang merata di seluruh pelosok Indonesia.

Anak Muda Sebagai Jantung Kreativitas Bangsa

Bram bukan satu-satunya desainer yang ikut serta dalam sayembara ini. Tercatat ada lebih dari 200 peserta dari berbagai latar belakang, namun karyanya berhasil masuk lima besar dan akhirnya terpilih oleh Presiden Prabowo Subianto. Ini menunjukkan bahwa ruang partisipasi generasi muda dalam agenda negara terbuka lebar, selama kita punya keberanian untuk menyuarakan ide dan memperjuangkannya.

Kalau kita tarik ke konteks yang lebih luas, partisipasi seperti ini adalah bukti bahwa anak muda Indonesia tak kekurangan kreativitas, hanya sering kali kurang diberi panggung. Logo ini, dalam skala yang sederhana, menjadi panggung tersebut. Sama halnya seperti musisi lokal yang baru dikenal setelah viral di media sosial, atau petani muda yang mendadak diliput karena berinovasi lewat pertanian organik. Anak muda kita selalu punya ide, tinggal bagaimana negara dan masyarakat memberi ruang.

Desain Nasional vs Desain Tradisional

Satu hal yang mencolok dari logo HUT RI ke-80 ini adalah pergeseran gaya. Tak lagi mengandalkan ornamen tradisional seperti keris, batik, atau bendera berkibar, desain kali ini tampil bersih, kontemporer, dan "internasional". Ini sempat menuai kritik dari sebagian pihak yang merasa unsur lokalitas jadi kurang terasa.

Namun menurut saya, justru di sinilah letak keberaniannya. Bram dan timnya berani menawarkan sesuatu yang lebih segar, relevan dengan cara berkomunikasi visual masa kini. Bagi generasi digital yang hidup di dunia penuh ikon minimalis dan desain datar, logo seperti ini lebih mudah diterima dan dipahami. Ia menyampaikan nilai dengan cara yang ringkas, tapi kuat.

Kita tak harus selalu menampilkan simbol-simbol lama untuk menunjukkan siapa kita. Kadang, cara terbaik untuk menjaga warisan adalah dengan menghidupkannya dalam bentuk baru. Sama seperti wayang yang kini bisa kita tonton lewat animasi digital, atau batik yang tampil elegan di panggung mode dunia. Identitas bukan soal mempertahankan bentuk, tapi merawat nilai.

Proses yang Inklusif dan Transparan

Tidak seperti praktik masa lalu yang kadang bersifat top-down, proses pemilihan logo tahun ini cukup demokratis. Sayembara terbuka, seleksi dilakukan oleh tim profesional dari ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia), hingga akhirnya diputuskan langsung oleh Presiden.

Transparansi ini penting, apalagi dalam konteks pembelajaran publik. Ketika masyarakat tahu bahwa sebuah simbol negara lahir dari proses partisipatif, maka rasa memiliki pun tumbuh. Logo ini bukan sekadar milik pemerintah, melainkan milik rakyat. Ini pelajaran penting yang seharusnya diterapkan juga dalam aspek lain kebijakan negara.

Bayangkan jika pembangunan kota, kurikulum pendidikan, atau program sosial dirancang dengan keterlibatan aktif masyarakat. Mungkin kita akan melihat lebih banyak solusi yang kontekstual, inklusif, dan berkelanjutan.

Logo sebagai Alat Edukasi

Yang menarik lagi, logo ini tak hanya untuk ditempel di spanduk dan baliho. Ia bisa menjadi alat edukasi yang efektif. Di ruang kelas, guru bisa mengajak siswa berdiskusi tentang makna desain, simbolisme, dan pentingnya identitas nasional. Di kampus, mahasiswa desain grafis bisa menjadikannya studi kasus tentang bagaimana visualisasi bisa menyampaikan ideologi.

Bahkan bagi masyarakat umum, logo ini bisa menginspirasi percakapan yang lebih luas: apa arti kemerdekaan hari ini? Apa makna kesejahteraan di tengah inflasi dan perubahan iklim? Bagaimana cara kita menjaga kedaulatan, bukan hanya dari invasi fisik, tapi dari ketergantungan digital dan ekonomi global?

Refleksi untuk Masa Depan

Delapan dekade kemerdekaan adalah momen kontemplasi. Kita telah melewati era kolonialisme, Orde Lama, Orde Baru, reformasi, dan kini memasuki era transisi digital. Logo HUT RI ke-80 seakan mengingatkan bahwa bangsa ini masih berjalan, dan untuk terus melaju, kita harus bersatu dalam semangat yang tak terbatas.

Melalui karya seperti ini, anak muda Indonesia tidak sekadar jadi penonton sejarah, tapi turut menyusun narasinya. Ini bukan cuma tentang angka 80, tapi tentang bagaimana kita sebagai generasi penerus mampu menciptakan ulang wajah Indonesia yang relevan, berdaya saing, dan tetap berakar.

Sebagaimana pepatah Bugis mengatakan, "resopa temmangingi namalomo naletei pammase dewata" hanya dengan kerja keras dan tekad, restu Tuhan akan datang. Maka mari terus dukung lahirnya simbol-simbol baru yang menyuarakan semangat bangsa, lewat karya-karya muda yang berani, cerdas, dan membumi.

Selamat Dirgahayu ke-80, Indonesia. Teruslah bersatu, teruslah maju.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url