Bagaimana Cara Mencegah Pelanggaran Kode Etik Guru di Sekolah?
Blog tentang Pendidikan - "Kita tidak akan bisa mendidik murid dengan baik kalau lupa mendidik diri sendiri sebagai guru dan memposisikan diri kita sebagai seorang pendidik".
Itulah kalimat yang seharusnya kita tanyakan kepada diri sendiri. Penulis yakin, hampir semua guru pasti tahu bahwa dalam profesi itu ada yang namanya kode etik guru. Tapi sayangnya, tak semua dari kita sadar bagaimana cara menjaganya agar tidak sampai dilanggar, baik sengaja maupun tidak.
Nah, Pada artikel kali ini, Penulis tujukan bukan cuma buat guru, tapi juga buat kepala sekolah, tenaga kependidikan, calon guru, orang tua, dan siapa saja yang peduli dengan kualitas pendidikan kita. Yuk, kita bahas bareng-bareng bagaimana sebenarnya cara paling masuk akal dan insyaAllah efektif untuk mencegah pelanggaran kode etik guru?
Kenapa Pelanggaran Bisa Terjadi?
Pertama-tama, kita harus jujur pada diri sendiri bahwa pelanggaran kode etik guru itu nyata, dan bisa terjadi di mana saja.
Bentuknya bisa macam-macam dari membentak murid di depan kelas, mengunggah aib siswa di media sosial, sampai menerima “amplop” dari wali murid. Sebagian terjadi karena ketidaktahuan, sebagian lagi karena kurangnya pengawasan, dan tak jarang karena sudah menjadi kebiasaan yang dianggap “biasa”.
Makanya, sebelum bicara solusi, kita harus sepakat bahwa pelanggaran tidak boleh dimaklumi. Tapi sama-sama harus dicegah. Nah, berikut pihak-pihak yang berkompeten dalam hal ini:
1. Kepala Sekolah Sebagai Garda Terdepan
Pernah dengar istilah "guru adalah cerminan kepala sekolah"? Itu ada benarnya. Kepala sekolah punya peran besar dalam menciptakan budaya yang etis. Baik dan buruknya sekolah itu tergantung dari cara kepala sekolah dalam mengelola sekolah tersebut.
Apa yang bisa dilakukan kepala sekolah?
- Adakan evaluasi perilaku guru secara berkala, bukan hanya administrasi.
- Bangun relasi yang terbuka dan suportif, agar guru merasa nyaman bicara jika mengalami tekanan.
- Buat aturan internal yang jelas dan realistis, serta sosialisasikan secara rutin.
Jangan cuma menunggu laporan ketika masalah muncul. Pemantauan sikap harus jadi bagian dari sistem, bukan di saat insiden terjadi. Bisa dilakukan dengan membuat jadwal monitoring kelas setiap 2 minggu atau 1 bulan sekali.
2. Pelatihan Etika Itu Harus Dilakukan Rutin
Jujur saja, banyak dari kita yang baru dengar istilah “kode etik guru” saat ikut PLPG atau PPG. Setelah itu? Lupa. Padahal, etika itu dinamis. Dunia berubah, tantangan guru juga ikut berubah.
Solusinya:
- Sekolah atau komunitas guru dan kepala sekolah disatu daerah bekerja sama dengan Dinas Pendidikan mengadakan pelatihan internal 1–2 kali setahun khusus soal etika profesi. bisa dalam bentuk kegiatan KKG atau Worshop.
- Bisa lewat studi kasus nyata yang dibahas bersama di forum guru.
- Atau bikin sesi informal seperti “Kopi Etika” di mana guru bisa berbagi dilema-dilema lapangan.
Pelatihan ini bukan soal teori saja. Tapi bagaimana menghadapi situasi dilematis dengan bijak dan manusiawi.
3. Libatkan Semua Pihak: Bukan Cuma Urusan Guru
Kadang, guru sudah berusaha menjaga etika, tapi lingkungannya malah mendorong ke arah sebaliknya. Contohnya? Orang tua yang “titip nilai”, atau teman sejawat yang normalisasi perilaku toxic.
Soal etika guru itu bukan hanya tugas pribadi tapi juga kerjasama antar warga sekolah. Maka dari itu, semua pihak harus tahu dan paham batasan-batasan yang etis, bukan cuma guru.
Apa yang bisa dilakukan?
- Sosialisasikan kode etik kepada murid dan wali murid saat awal tahun ajaran.
- Tempel poster atau infografis kode etik di ruang guru dan ruang tata usaha.
- Buat buku saku atau PDF singkat tentang “Apa yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan Guru”.
Semua pihak harus merasa punya tanggung jawab terhadap suasana etis di sekolah.
4. Bangun Budaya Reflektif, Bukan Sekadar Mengajar
Guru bukan robot. Kita juga manusia. Bisa salah, bisa khilaf. Makanya, refleksi diri penting banget. Kita perlu waktu untuk menilai diri sendiri, bukan hanya dinilai oleh kepala sekolah.
Cara membangun budaya reflektif:
- Luangkan waktu sebulan sekali untuk menulis jurnal pribadi guru (tentang apa yang berhasil, apa yang kurang etis, apa yang perlu diperbaiki).
- Buat grup kecil antar guru yang saling berbagi pengalaman dengan prinsip saling menghormati.
- Terapkan peer-review etis, bukan untuk saling menghakimi, tapi saling mengingatkan.
Refleksi bukan berarti kita gagal, tapi justru cara menjaga kewarasan dan integritas sebagai pendidik.
5. Tantangan Dalam Mewujudkan Guru yang Beretika
Mari kita bicara jujur lagi. Menjaga kode etik itu tidak mudah. Kadang kita berada dalam posisi serba salah.
Misalnya:
- Murid bersikap sangat kasar, tapi kita dituntut untuk tetap lembut.
- Orang tua murid terus-menerus mengganggu privasi guru, tapi kita diminta bersikap sabar.
Tantangan lainnya:
- Tidak ada sanksi tegas dari institusi terhadap guru yang melanggar.
- Tekanan administratif membuat guru kelelahan dan jadi lebih mudah terpancing emosi.
- Tidak semua guru paham batasan etis di era digital, seperti unggahan medsos yang bisa berisiko.
6. Solusi untuk Menyikapinya
Menegakkan kode etik bukan berarti kita harus jadi “guru robot” yang kaku dan serba formal. Justru sebaliknya, guru harus tetap jadi manusia, tapi manusia yang sadar nilai dan prinsip.
Beberapa solusi praktis:
- Buat forum internal guru yang nyaman untuk curhat masalah etika tanpa takut dihakimi.
- Sekolah bisa menunjuk satu guru senior sebagai mentor etika yang siap mendampingi jika ada dilema.
- Gunakan teknologi untuk belajar etika: ada banyak video, podcast, dan infografis ringan yang bisa disisipkan dalam rapat atau grup WhatsApp guru.