Perbedaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) dan Ujian Nasional (UN)

Saba Bolak – Pendidikan selalu menjadi cermin perubahan zaman. Ketika cara berpikir manusia berkembang, cara menilai kemampuan pun ikut bertransformasi. Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Dulu, Ujian Nasional (UN) menjadi simbol keberhasilan belajar siswa, tolok ukur yang seragam bagi seluruh negeri. 

Melalui Permendikdikdasmen nomor 9 tahun 2025, peran itu digantikan oleh Tes Kemampuan Akademik (TKA), dimana kegiatan ini adalah sebuah instrumen baru yang tak sekadar mengganti format ujian, melainkan menandai cara pandang baru terhadap makna belajar.

Peralihan dari UN ke TKA bukanlah soal nama atau teknis ujian, tetapi perubahan mendasar dalam filosofi pendidikan yaitu dari sekadar mengukur hasil menuju memahami proses berpikir. Kalau UN menuntut keseragaman, TKA justru merayakan keberagaman cara berpikir.

Namun, apa sebenarnya yang membedakan keduanya? Mengapa UN yang telah menjadi “ritual nasional” selama puluhan tahun harus ditinggalkan? Dan bagaimana perubahan ini memengaruhi guru, sekolah, dan terutama siswa? Mari kita bedah satu per satu.

Tujuan dan Orientasi Penilaiannya

Perbedaan pertama dan paling mendasar terletak pada arah dan tujuan kedua tes ini.

Ujian Nasional dibuat sebagai alat untuk menyamakan standar pencapaian pendidikan di seluruh Indonesia. Melalui ujian ini, pemerintah berupaya menjamin bahwa setiap siswa, baik dari daerah mana pun maupun dari jenis sekolah apa pun, mencapai Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang setara. Nilai UN menjadi tolok ukur nasional sekaligus syarat kelulusan siswa dari jenjang pendidikan.

Masalahnya, fungsi ganda ini menimbulkan tekanan luar biasa. Banyak siswa belajar bukan untuk memahami, tetapi agar tidak gagal. Guru dan sekolah pun terjebak dalam budaya drill soal, mengajar demi angka, bukan demi makna.

Di sinilah TKA hadir membawa angin baru. Tujuannya bukan menilai kelulusan, melainkan memetakan kemampuan akademik siswa sejauh mana mereka mampu berpikir kritis, memahami konsep, dan menerapkan logika dalam situasi nyata.

Nilainya tidak menentukan lulus-tidaknya siswa, melainkan menjadi sertifikat capaian akademik yang bisa digunakan untuk melanjutkan studi atau mengikuti seleksi prestasi. Dengan kata lain, TKA tidak menilai siapa yang “layak lulus”, tetapi siapa yang telah berkembang.

Materi dan Bentuk Soal

UN selama ini identik dengan soal hafalan berbentuk pilihan ganda. Modelnya menguji seberapa banyak siswa mengingat rumus dan definisi, bukan seberapa dalam mereka memahami konsep. Efisien, memang. Tapi terlalu sempit untuk menilai kemampuan berpikir tingkat tinggi.

TKA membawa pendekatan berbeda. Soal-soalnya dirancang berbasis Higher Order Thinking Skills (HOTS) yang menuntut analisis, sintesis, dan penalaran logis. Misalnya, bukan lagi bertanya “berapa luas segitiga dengan alas dan tinggi tertentu”, melainkan bagaimana siswa menerapkan konsep luas segitiga untuk memecahkan masalah kontekstual, seperti menghitung bahan bangunan atau merancang denah.

Ada tiga kemampuan utama yang diukur TKA:

  1. Numerasi – sejauh mana siswa memahami dan menggunakan konsep matematika dalam kehidupan nyata.
  2. Literasi – kemampuan membaca, menafsirkan, dan menganalisis informasi secara kritis.
  3. Penalaran logis dan spasial – kemampuan berpikir sistematis dan memecahkan masalah secara rasional.

Dengan pendekatan ini, TKA tidak lagi sekadar menguji hafalan, tapi cara berpikir.

Status dan Fungsi Hasil Ujian

Pada era UN, nilai ujian menjadi penentu segalanya yaitu kelulusan siswa, reputasi sekolah, bahkan gengsi daerah. Sekolah dengan nilai UN tinggi dianggap “unggul”, sementara yang rendah dicap tertinggal. Akibatnya, banyak sekolah terjebak dalam kompetisi semu, mengorbankan esensi belajar demi hasil ujian.

Sebaliknya, hasil TKA tidak menentukan kelulusan. Setiap peserta akan menerima sertifikat yang menggambarkan kemampuan akademik di berbagai bidang. Sertifikat ini bisa digunakan untuk:

  1. Mendaftar ke jenjang pendidikan lebih tinggi,
  2. Mengikuti seleksi jalur prestasi,
  3. Atau sekadar menunjukkan capaian akademik pribadi.

Singkatnya, TKA lebih menekankan pada pengembangan potensi individu daripada kompetisi antar sekolah.

Pelaksanaan dan Cakupan Peserta

UN dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia dalam satu waktu, satu sistem, satu standar. Masalahnya, kondisi tiap daerah tidak sama. Sekolah di kota besar dengan fasilitas lengkap tentu lebih siap dibanding sekolah di pelosok. Akibatnya, keseragaman waktu tidak selalu berarti kesetaraan kesempatan.

TKA hadir dengan sistem yang lebih fleksibel dan inklusif. Ujiannya bisa dilakukan secara digital dan tidak harus serentak nasional, menyesuaikan kesiapan daerah. Bahkan, peserta dari jalur nonformal seperti PKBM atau homeschooling pun dapat mengikutinya. Ini mencerminkan semangat bahwa setiap siswa dari mana pun latar belakangnya, punya hak yang sama untuk dinilai secara adil.

Baca Juga:
Cara Login Web TKA 2025 dan Panduan Lengkap Tes Akademik Nasional

Filosofi Pendidikan

Lebih dalam lagi, perbedaan terbesar antara UN dan TKA adalah soal filsafat pendidikan yang melandasinya.

UN berpijak pada paradigma lama yakni belajar untuk nilai. Ia menempatkan angka sebagai simbol keberhasilan, dan membandingkan siswa satu sama lain. Hasilnya, tumbuh budaya kompetitif yang kadang tidak sehat di mana nilai menjadi tujuan, bukan cerminan pemahaman.

TKA justru mengusung paradigma baru yaitu belajar untuk memahami. Nilai bukanlah hasil akhir, melainkan cermin dari proses berpikir. Tes ini sejalan dengan semangat Merdeka Belajar, di mana siswa diposisikan sebagai subjek aktif, bukan sekadar objek penilaian.

Dampak Psikologis bagi Siswa dan Guru

Bagi banyak siswa, UN dulu adalah momok tahunan. Statusnya sebagai penentu kelulusan membuatnya menakutkan. Tekanan datang dari semua arah seperti guru, orang tua, bahkan masyarakat. Tak heran, suasana belajar jadi kaku. Kelas berubah jadi ruang latihan soal, bukan ruang eksplorasi ide. Siswa belajar karena takut gagal, bukan karena ingin tahu. 

TKA mencoba memutus rantai itu. Karena tidak menjadi penentu kelulusan, siswa bisa menghadapi ujian dengan lebih santai dan jujur. Guru pun punya kesempatan untuk menggunakan hasil TKA sebagai bahan refleksi seperti memperbaiki metode mengajar, bukan sekadar mengejar target nilai.

Manfaat Jangka Panjang

Selama ini, data UN lebih banyak digunakan untuk peringkat sekolah atau laporan tahunan pendidikan. Sebaliknya, data dari TKA memiliki nilai strategis jangka panjang. Karena menilai kemampuan berpikir logis dan konseptual, hasil TKA bisa membantu pemerintah memetakan kesenjangan mutu pendidikan antarwilayah. 

Selain itu, sertifikat TKA juga dapat menjadi portofolio akademik nasional yaitu semacam rekam jejak kemampuan siswa Indonesia yang lebih komprehensif.

Kesimpulan

Pergantian dari UN ke TKA bukan sekadar perubahan format ujian, melainkan pergeseran budaya belajar. UN menilai keseragaman hasil; TKA menghargai keberagaman potensi. UN fokus pada angka; TKA fokus pada pemahaman. UN menilai siapa yang “lulus”; TKA membantu setiap siswa memahami sejauh mana ia berkembang.

Namun, keberhasilan TKA tetap bergantung pada kesiapan semua pihak seperti sekolah, guru, dan siswa untuk berubah cara pandang. Tanpa itu, TKA bisa saja berakhir sebagai “UN dengan nama baru”. Lebih dari sekadar tes, TKA adalah simbol transformasi dari belajar untuk nilai menuju belajar untuk memahami.

Pertanyaan Umum (FAQ)

1. Apakah TKA menggantikan Ujian Nasional?

Ya. TKA menggantikan peran UN sebagai asesmen nasional, tetapi tidak menentukan kelulusan siswa.

2. Apakah hasil TKA masuk ke rapor sekolah?

Tidak. Hasil TKA berdiri sendiri dalam bentuk sertifikat capaian akademik.

3. Apakah semua siswa wajib mengikuti TKA?

Tidak wajib untuk kelulusan, namun sangat disarankan agar siswa memiliki sertifikat akademik nasional.

4. Apa yang diujikan dalam TKA?

TKA mengukur kemampuan literasi, numerasi, penalaran logis, dan pemahaman konsep lintas mata pelajaran.

5. Mengapa TKA dianggap lebih adil?

Karena ia menilai kemampuan berpikir, bukan hafalan. Selain itu, TKA terbuka untuk semua jalur pendidikan baik formal maupun nonformal.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url