Jenis-jenis Diksi dalam Bahasa Indonesia dan Klasifikasinya
Jenis-jenis diksi dan klasifikasinya kerap terdengar sepele di awal. Namun begitu mulai diterapkan dalam tulisan atau saat berbicara, di situlah terasa jelas bahwa pemilihan kata bukan perkara kecil.
Nah, lewat pembahasan ini, kamu dan kalian diajak untuk memahami diksi dengan sudut pandang yang lebih jernih, aplikatif, dan dekat dengan praktik sehari-hari.
Bukan cuma berhenti di pengertian, tetapi menelusuri bagaimana diksi bekerja, mengapa ia diklasifikasikan ke dalam berbagai jenis, serta bagaimana pembagian itu membantu pesan tersampaikan dengan lebih tepat dan tidak melenceng.
Apa Itu Diksi dan Mengapa Tidak Bisa Dianggap Remeh
Kalau kita tarik dari kajian linguistik klasik hingga modern, diksi pada dasarnya adalah proses memilih kata yang paling tepat untuk menyampaikan makna tertentu dalam konteks tertentu. Bukan sekadar “memilih kata”, tapi memilih kata yang paling pas.
Dari sini penting dipahami bahwa:
- Satu gagasan bisa diwakili banyak kata
- Namun, tidak semua kata menghasilkan dampak makna yang sama
Dalam pendidikan bahasa baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing, diksi menjadi fondasi penting. Bahkan menurut Keraf dan Tarigan, diksi bukan hanya soal benar atau salah, tapi soal tepat atau tidak tepat.
Nah, barangkali kamu pernah membaca dua kalimat yang isinya sama, tapi yang satu terasa lebih hidup, lebih sopan, atau lebih meyakinkan. Bisa jadi, rahasianya ada pada diksi.
Dasar Klasifikasi Diksi dalam Kajian Bahasa
Para ahli bahasa tidak asal membagi diksi. Klasifikasi dilakukan berdasarkan:
- Makna
- Relasi antar kata
- Konteks penggunaan
- Tingkat formalitas
- Tingkat keabstrakan makna
Pembagian ini muncul dari berbagai sumber akademik mulai dari linguistik struktural, semantik, hingga analisis wacana modern. Jadi, bukan satu sumber tunggal, melainkan sintesis dari banyak kajian.
Mari kita bahas satu per satu secara mendalam.
Klasifikasi Diksi Berdasarkan Makna
1. Diksi Denotatif
Diksi denotatif merujuk pada makna lugas, objektif, dan apa adanya, seperti yang tercantum dalam kamus.
Ciri utamanya:
- Tidak mengandung emosi
- Tidak bersifat kiasan
- Mudah dipahami semua orang
Contoh:
“Guru itu mengajar di kelas.”
Kalimat ini tidak membuka ruang tafsir ganda. Cocok digunakan dalam:
- Buku pelajaran
- Laporan ilmiah
- Teks hukum
- Dokumen resmi
Dalam praktik pendidikan, diksi denotatif sangat penting agar informasi tidak bias.
2. Diksi Konotatif
Berbeda dengan denotatif, diksi konotatif membawa nilai rasa, bisa positif, negatif, atau netral, tergantung konteks sosial dan budaya.
Contoh:
“Ia adalah tulang punggung keluarga.”
Secara denotatif, tulang punggung adalah bagian tubuh. Namun secara konotatif, maknanya bergeser menjadi penopang kehidupan.
Nah, di sinilah diksi konotatif sering dipakai dalam:
- Sastra
- Opini
- Pidato
- Editorial media
Namun, dalam teks akademik, penggunaannya harus sangat terkontrol.
Klasifikasi Diksi Berdasarkan Relasi Leksikal
Klasifikasi ini banyak dipakai dalam pembelajaran bahasa karena membantu siswa memahami hubungan antar kata.
3. Sinonim
Sinonim adalah kata-kata yang maknanya mirip, tapi tidak selalu bisa saling menggantikan sepenuhnya.
Contoh:
- pintar – cerdas – pandai
Dalam konteks pendidikan:
- “Siswa cerdas” ≠ “siswa pintar” dalam nuansa formalitas
Jadi, memilih sinonim bukan sekadar variasi kata, tapi juga soal konteks.
4. Antonim
Antonim adalah kata yang maknanya berlawanan.
Contoh:
- tinggi × rendah
- rajin × malas
Namun, dalam praktiknya antonim tidak selalu hitam-putih. Ada antonim bertingkat, misalnya:
- panas → hangat → sejuk → dingin
Ini penting dipahami agar tidak terjadi penyederhanaan makna.
5. Homonim
Homonim adalah kata yang sama bentuk dan bunyinya, tetapi maknanya berbeda.
Contoh:
- “bisa” (racun)
- “bisa” (mampu)
Tanpa konteks, kata ini bisa membingungkan. Maka dari itu, penulis harus memastikan kalimatnya jelas.
6. Homofon dan Homograf
- Homofon: bunyi sama, ejaan berbeda
- Homograf: ejaan sama, bunyi atau makna berbeda
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, dua jenis ini sering jadi sumber kesalahan pemahaman, terutama dalam keterampilan menyimak dan membaca.
7. Polisemi
Polisemi adalah satu kata yang memiliki lebih dari satu makna yang masih saling berhubungan.
Contoh:
- “kepala” (anggota tubuh, pimpinan, bagian atas)
Ini menunjukkan bahwa makna kata berkembang secara logis, bukan kebetulan.
8. Hipernim dan Hiponim
- Hipernim: makna umum
- Hiponim: makna khusus
Contoh:
- Hewan → kucing, anjing, sapi
Dalam teks pendidikan, struktur ini sangat membantu penjelasan konsep dari umum ke khusus.
Klasifikasi Diksi Berdasarkan Tingkat Formalitas
Klasifikasi ini sering dipakai dalam analisis wacana dan retorika.
9. Diksi Formal
Digunakan dalam:
- Jurnal ilmiah
- Pidato kenegaraan
- Dokumen resmi
Ciri:
- Baku
- Minim emosi
- Struktur kalimat rapi
10. Diksi Netral atau Standar
Ini yang paling sering dipakai dalam buku pelajaran dan artikel edukatif. Tidak kaku, tapi tetap tertib.
Artikel ini sendiri menggunakan diksi jenis ini dengan sedikit sentuhan dialogis agar mengalir.
11. Diksi Informal dan Kolokial
Digunakan dalam:
- Percakapan sehari-hari
- Media sosial
- Blog populer
Contoh:
- “nggak”
- “kayaknya”
Namun dalam konteks pendidikan, penggunaannya harus disesuaikan agar tidak menurunkan kredibilitas.
12. Diksi Slang
Slang bersifat:
- Temporal
- Kelompok tertentu
Dalam pendidikan formal, slang biasanya hanya dibahas sebagai objek kajian, bukan digunakan sebagai medium utama.
Klasifikasi Diksi Berdasarkan Tingkat Keabstrakan
13. Diksi Konkret
Mengacu pada hal yang bisa ditangkap pancaindra.
Contoh:
- buku
- papan tulis
- suara bel
Sangat efektif untuk pembelajaran dasar.
14. Diksi Abstrak
Mengacu pada konsep:
- keadilan
- tanggung jawab
- motivasi
Diksi ini membutuhkan penjelasan tambahan agar tidak multitafsir.
Diksi Figuratif dan Estetis
Meski sering dilekatkan pada karya sastra, diksi figuratif dan estetis sebenarnya juga cukup sering muncul dalam konteks pendidikan, terutama dalam pidato, materi motivasi belajar, atau pengantar pembelajaran.
Nah, diksi jenis ini bekerja bukan dengan cara menjelaskan secara lurus, tetapi lewat perbandingan, simbol, dan penggambaran imajinatif.
Beberapa bentuk yang paling umum antara lain:
- Metafora, yaitu membandingkan dua hal berbeda secara langsung untuk menegaskan makna tertentu.
- Simbol, yakni kata atau frasa yang mewakili makna lebih luas dari sekadar arti harfiahnya.
- Personifikasi, yaitu memberi sifat manusia pada benda atau konsep abstrak.
Dalam praktiknya, diksi figuratif bisa membuat pesan pendidikan terasa lebih hidup dan mudah diingat. Namun, di sinilah jebakannya. Jika digunakan tanpa tujuan yang jelas, diksi ini justru bisa membingungkan peserta didik.
Jadi, kuncinya bukan pada seberapa indah katanya, melainkan apakah makna yang ingin disampaikan tetap bisa ditangkap dengan tepat.
Mengapa Pemahaman Diksi Penting dalam Pendidikan
Dari pengalaman rekan-rekan guru di lapangan baik saat menyusun materi ajar, mengedit modul pembelajaran, maupun merancang soal evaluasi masalah diksi sering muncul tanpa disadari.
Bahkan, banyak kendala pembelajaran bukan berasal dari konsep yang sulit, melainkan dari pilihan kata yang kurang tepat.
Beberapa dampak yang paling sering ditemui antara lain:
- Siswa salah menangkap maksud pertanyaan atau instruksi
- Kalimat perintah yang ambigu dan menimbulkan tafsir ganda
- Soal ujian yang dipahami berbeda oleh peserta didik
Dari sini terlihat jelas bahwa diksi bukan sekadar soal gaya bahasa atau selera penulis. Diksi adalah alat utama untuk memastikan pesan pendidikan sampai secara utuh. Ketika pilihan kata tidak tepat, tujuan pembelajaran pun bisa meleset, meskipun materinya sudah benar.
Kesimpulan
Akhirnya, memahami jenis-jenis diksi dan klasifikasinya bukan bertujuan untuk menghafal istilah linguistik semata. Yang jauh lebih penting adalah membangun kepekaan dalam memilih kata sesuai konteks, audiens, dan tujuan komunikasi.
Dari sini, kamu bisa menulis lebih jernih, berbicara lebih terarah, dan menyampaikan gagasan tanpa membuka ruang salah tafsir.
Kalau kamu serius berkecimpung di dunia pendidikan, literasi, atau kepenulisan, penguasaan diksi bukan sekadar pelengkap, melainkan bekal jangka panjang. Nah, langkah berikutnya tinggal satu: berlatih memilih kata secara sadar dan konsisten.