Fungsi Diksi dalam Komunikasi Tertulis Menurut Kajian Bahasa
Blog tentang Pendidikan - Dalam komunikasi tertulis, fungsi diksi sering dianggap sepele. Padahal, dari sinilah arah pemahaman pembaca ditentukan. Nah, satu kata saja bisa mengubah makna, sikap, bahkan kepercayaan orang terhadap isi tulisan.
Jadi, ketika kamu menulis baik itu tugas sekolah, artikel, laporan, atau sekadar opini maka pilihan kata bukan sekadar urusan bahasa, tapi juga urusan komunikasi. Dari sini, kita akan membahas fungsi diksi secara mendalam, tapi tetap dengan bahasa yang ringan dan membumi.
Mengapa Diksi Menjadi Inti Komunikasi Tertulis
Kalau kita bicara komunikasi tertulis, ada satu kondisi yang tidak bisa ditawar: penulis dan pembaca tidak hadir di waktu yang sama. Tidak ada intonasi suara, ekspresi wajah, atau bahasa tubuh. Semua pesan bertumpu pada kata.
Di sinilah diksi berfungsi sebagai:
- Wakil niat penulis
- Penjaga makna pesan
- Pengarah cara pembaca menafsirkan teks
Dalam kajian linguistik dan pendidikan bahasa, diksi bukan hanya soal “kata yang benar”, melainkan kata yang paling tepat untuk situasi tertentu. Bisa jadi satu kata benar secara kamus, tapi keliru secara konteks.
Barangkali kamu pernah membaca tulisan yang isinya sebenarnya bagus, namun terasa kaku, membingungkan, atau bahkan menyinggung. Nah, itu sering kali bukan karena idenya salah, tapi karena diksinya tidak bekerja dengan baik.
Fungsi Diksi dalam Menjaga Kejelasan Makna
Fungsi utama diksi yang paling terasa adalah mencegah salah paham. Dalam komunikasi tertulis, pembaca menafsirkan teks berdasarkan pengalaman dan pengetahuan mereka masing-masing. Kalau pilihan kata penulis kabur, pembaca akan mengisi kekosongan makna dengan asumsi sendiri.
Contohnya sederhana:
- Kata “cukup”
- Kata “memadai”
- Kata “optimal”
Ketiganya sama-sama positif, namun tingkat maknanya berbeda. Dalam laporan pendidikan, kesalahan memilih satu kata saja bisa mengubah kesimpulan.
Dalam perspektif semantik, diksi membantu mengunci makna agar:
- Tidak melebar
- Tidak menyempit
- Tidak bias konteks
Dari sini kita bisa lihat bahwa diksi berfungsi sebagai penjaga batas makna, terutama dalam teks akademik, kebijakan pendidikan, dan dokumen resmi.
Diksi dan Ketepatan Informasi dalam Tulisan
Nah, selain jelas, tulisan juga harus tepat. Fungsi diksi di sini adalah memastikan informasi yang disampaikan sesuai dengan fakta dan maksud penulis.
Dalam dunia pendidikan, perbedaan kata seperti:
- “menyebabkan”
- “berkorelasi dengan”
- “berkontribusi terhadap”
sangat krusial. Kata “menyebabkan” mengandung hubungan kausal langsung, sementara dua lainnya lebih hati-hati secara akademik. Salah diksi, salah pula kesimpulan pembaca.
Bisa jadi niat penulis netral, namun karena diksinya terlalu tegas, tulisannya dibaca sebagai klaim mutlak. Di sinilah diksi berfungsi sebagai alat kontrol ketepatan informasi.
Fungsi Diksi dalam Membentuk Nada dan Sikap Tulisan
Dalam komunikasi tertulis, diksi juga berperan membentuk nada emosional. Mau tidak mau, kata membawa rasa.
Bandingkan:
- “Peserta didik gagal memahami materi”
- “Peserta didik masih memerlukan pendampingan dalam memahami materi”
Maknanya serupa, tapi dampaknya berbeda. Yang satu menghakimi, yang lain membina. Dalam konteks pendidikan, diksi semacam ini menentukan apakah tulisan terasa mendukung atau justru menekan.
Dari sudut pandang komunikasi, diksi berfungsi sebagai penyalur sikap penulis:
- Empatik atau dingin
- Kritis atau menyudutkan
- Mengajak atau memerintah
Tulisan pendidikan yang baik biasanya sadar betul soal ini. Tidak terlalu normatif, tapi juga tidak sembrono.
Diksi sebagai Penentu Hubungan Penulis dan Pembaca
Kalau kamu perhatikan, tulisan yang enak dibaca biasanya terasa seperti diajak ngobrol. Nah, itu bukan kebetulan. Itu hasil dari pemilihan diksi yang sadar pembaca.
Dalam komunikasi tertulis, diksi berfungsi untuk:
- Menciptakan kedekatan
- Menentukan jarak sosial
- Menyesuaikan tingkat formalitas
Penggunaan kata seperti “kamu”, “kita”, atau “kalian” jika dipakai dengan tepat maka akan membuat pembaca merasa dilibatkan. Namun, jika dipakai sembarangan, bisa terasa tidak sopan atau tidak pantas.
Di dunia pendidikan, penulis yang berpengalaman biasanya tahu kapan harus formal dan kapan boleh cair. Diksi menjadi alat fleksibel untuk itu.
Fungsi Diksi dalam Efisiensi dan Keterbacaan Teks
Tulisan panjang tidak selalu buruk. Namun, tulisan bertele-tele hampir selalu melelahkan. Diksi berfungsi untuk mengefisienkan bahasa tanpa mengorbankan makna.
Contoh:
- “melakukan evaluasi terhadap” → “mengevaluasi”
- “memberikan pemahaman kepada” → “menjelaskan”
Dalam konteks pendidikan dan akademik, efisiensi diksi membuat tulisan:
- Lebih mudah dipahami
- Lebih nyaman dibaca
- Lebih profesional
Akhirnya, pembaca tidak kelelahan sebelum sampai ke inti gagasan.
Diksi dan Daya Persuasif dalam Tulisan Pendidikan
Tulisan pendidikan tidak selalu netral. Ada kalanya ia ingin:
- Mengajak berpikir
- Mendorong perubahan
- Menumbuhkan kesadaran
Di sinilah fungsi diksi sebagai alat persuasi bekerja. Kata-kata seperti “penting”, “perlu”, “mendesak”, atau “berpotensi” memiliki bobot yang berbeda.
Namun, penulis berpengalaman biasanya tidak berteriak lewat kata. Ia memilih diksi yang meyakinkan tanpa memaksa. Jadi, pembaca merasa sampai pada kesimpulan itu sendiri.
Ini sejalan dengan prinsip komunikasi pendidikan modern yang menekankan dialog, bukan doktrin.
Diksi sebagai Cermin Kredibilitas Penulis
Akhirnya, mau tidak mau, diksi mencerminkan siapa penulisnya. Tulisan dengan diksi asal-asalan akan langsung terasa. Sebaliknya, diksi yang konsisten dan kontekstual memberi kesan bahwa penulis:
- Paham materi
- Terlibat langsung
- Menguasai medan pembahasan
Dalam dunia pendidikan nasional, ini penting. Tulisan sering menjadi representasi pemikiran, bahkan sikap profesional seseorang.
Kesimpulan
Jadi, fungsi diksi dalam komunikasi tertulis jauh melampaui urusan bahasa. Ia bekerja menjaga makna, ketepatan, nada, hubungan dengan pembaca, hingga kredibilitas penulis.
Kalau kamu menulis dan ingin tulisanmu dipahami, diterima, dan dipercaya, maka diksi bukan hal tambahan, ia adalah fondasi. Dari sini, barangkali kita bisa mulai lebih sadar bahwa kata bukan sekadar alat, tapi penentu arah komunikasi.
Kalau kamu tertarik, kamu bisa mulai mengecek tulisanmu sendiri: apakah setiap kata benar-benar sudah bekerja sebagaimana mestinya?