Diksi Menurut Persfektif Para Ahli Bahasa: Lebih dari Sekadar Pilihan Kata
Blog tentang Pendidikan - Pengertian diksi menurut para ahli bahasa sering terdengar sederhana, namun ketika benar-benar dipahami, konsep ini ternyata punya dampak besar dalam dunia pendidikan, penulisan, dan komunikasi sehari-hari.
Di ruang kelas, di meja redaksi, sampai ke tulisan di media digital, diksi sering jadi pembeda antara pesan yang sekadar dibaca dan pesan yang benar-benar dipahami.
Nah, dari sini kita bisa melihat bahwa diksi bukan cuma urusan “kata mana yang dipakai”, tapi soal bagaimana makna, konteks, dan rasa bahasa saling bertemu.
Apa Itu Diksi?
Kalau kita bicara diksi, banyak orang langsung mengaitkannya dengan “pilihan kata”. Dan memang, itu tidak salah. Namun, kalau berhenti sampai di situ, pemahaman kita masih terlalu dangkal.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diksi diartikan sebagai pilihan kata yang tepat dan selaras untuk mengungkapkan gagasan.
Definisi ini terlihat singkat, namun mengandung dua kata kunci penting: tepat dan selaras. Tepat berarti sesuai makna, sedangkan selaras berarti cocok dengan konteks, situasi, dan pembaca atau pendengar.
Sebagai pendidik atau penulis, saya sering melihat siswa dan mahasiswa sebenarnya punya ide bagus. Namun, ide itu “jatuh” di tengah jalan karena diksi yang dipilih tidak pas.
Bisa jadi katanya benar secara makna kamus, tapi terasa janggal ketika dibaca. Nah, di titik inilah diksi mulai menunjukkan perannya yang nyata.
Diksi Menurut Gorys Keraf
Kalau bicara diksi dalam kajian bahasa Indonesia, nama Gorys Keraf hampir selalu muncul. Dan memang, pemikirannya tentang diksi tergolong paling komprehensif.
Menurut Gorys Keraf, diksi bukan sekadar memilih kata, tetapi mencakup kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari kata-kata yang hampir sama.
Misalnya, kata melihat, menyaksikan, menatap, dan memperhatikan. Sekilas mirip, namun maknanya berbeda. Di sinilah kecermatan berbahasa diuji.
Keraf juga menekankan bahwa diksi berkaitan erat dengan:
- Ketepatan makna
- Kesesuaian konteks
- Nilai rasa bahasa
- Situasi komunikasi
Dari pengalaman mengajar, bisa jadi seorang siswa menulis kalimat yang secara tata bahasa sudah benar, namun terasa “kering” atau bahkan salah rasa.
Biasanya masalahnya bukan pada struktur kalimat, tapi pada diksi. Kata yang dipilih tidak membawa nuansa yang diinginkan.
Jadi, menurut Keraf, diksi adalah kesadaran penuh penutur atau penulis terhadap kata yang digunakan, bukan pilihan asal-asalan.
Pandangan Widyamartaya
Berbeda tapi saling melengkapi, A. Widyamartaya melihat diksi sebagai kemampuan membedakan makna secara halus sesuai gagasan yang ingin disampaikan. Fokusnya ada pada ketajaman rasa bahasa.
Dalam praktiknya, Widyamartaya menilai bahwa seseorang yang menguasai diksi akan mampu:
- Menyampaikan gagasan dengan jelas
- Menghindari ambiguitas
- Mengurangi salah tafsir
Nah, di dunia pendidikan, hal ini terasa sekali. Dalam soal ujian, misalnya, satu kata yang kurang tepat bisa membuat soal menjadi multitafsir. Akhirnya, siswa bingung bukan karena tidak paham materi, tetapi karena diksi soal yang kurang cermat.
Dari sini, bisa kita lihat bahwa diksi bukan hanya penting bagi penulis sastra, tetapi juga bagi guru, dosen, dan penyusun bahan ajar.
Diksi dalam Pandangan Susilo Mansurudin
Menurut Susilo Mansurudin, diksi adalah pilihan kata yang digunakan secara cermat agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Penekanannya ada pada fungsi komunikatif bahasa.
Pendekatan ini terasa sangat praktis. Dalam komunikasi pendidikan, tujuan utama bahasa adalah menyampaikan pesan secara jelas.
Kalau kata yang dipilih terlalu rumit, terlalu abstrak, atau tidak sesuai tingkat pembaca, pesan justru gagal sampai.
Saya sering menemukan buku pelajaran yang secara isi sebenarnya bagus, tetapi sulit dipahami karena diksi yang terlalu akademik. Padahal, pembacanya masih di tingkat sekolah menengah. Di sini, jelas bahwa diksi tidak boleh dilepaskan dari siapa pembacanya.
Menurut F. Enre
Menurut F. Enre, diksi adalah penggunaan kata yang mampu mewakili pikiran dan perasaan penulis atau pembicara. Definisi ini menarik karena memasukkan unsur emosional ke dalam diksi.
Artinya, diksi bukan hanya logis, tetapi juga ekspresif. Kata-kata yang dipilih membawa suasana tertentu. Dalam teks pendidikan, misalnya, diksi yang terlalu kaku bisa membuat pembaca merasa jauh. Sebaliknya, diksi yang terlalu santai bisa mengaburkan keseriusan materi.
Nah, di sinilah keseimbangan itu diuji. Sebagai pendidik, kita perlu memilih diksi yang tetap akurat secara ilmiah, namun tetap ramah bagi pembaca.
Diksi Menurut Harimurti Kridalaksana
Harimurti Kridalaksana menambahkan dimensi lain, yaitu keterkaitan diksi dengan kejelasan ujaran. Menurutnya, diksi mencakup pilihan kata sekaligus cara pengucapannya, terutama dalam komunikasi lisan.
Dalam konteks pendidikan, ini sangat relevan. Guru yang menggunakan diksi tepat namun pengucapannya tidak jelas tetap berisiko disalahpahami. Jadi, diksi bukan hanya milik teks tertulis, tetapi juga komunikasi lisan di ruang kelas.
Letak Benang Merah Diksi
Kalau kita tarik garis besar dari berbagai pandangan ahli bahasa, sebenarnya ada benang merah yang cukup jelas dan saling menguatkan. Beberapa titik temu itu antara lain:
- Diksi adalah pilihan kata yang dilakukan secara sadar, bukan hasil kebetulan atau asal pakai.
- Ketepatan makna menjadi inti utama, karena satu kata bisa mengubah arah pemahaman.
- Konteks komunikasi sangat menentukan, baik konteks situasi, audiens, maupun tujuan penyampaian.
- Diksi berpengaruh langsung terhadap kejelasan dan efektivitas pesan, bukan sekadar soal gaya.
- Ada unsur rasa dan nuansa bahasa yang tidak bisa diabaikan, meskipun sering dianggap sepele.
Dari sini terlihat bahwa diksi tidak pernah berdiri sendiri. Ia tumbuh bersama pengalaman berbahasa seseorang. Semakin sering seseorang membaca, menulis, dan berdiskusi, biasanya semakin terasah pula kepekaannya dalam memilih kata.
Diksi dalam Praktik Pendidikan Sehari-hari
Dalam praktik di lapangan, persoalan diksi sering kali luput dari perhatian. Banyak pendidik terlalu fokus pada isi materi, namun kurang memberi ruang pada cara penyampaiannya. Padahal, dua hal ini seharusnya berjalan beriringan.
Ambil contoh sederhana antara kata evaluasi dan penilaian. Secara konsep keduanya memang berdekatan.
Namun, bagi sebagian siswa, kata evaluasi terdengar lebih formal dan menegangkan, sementara penilaian terasa lebih netral dan bersahabat. Perbedaan rasa inilah yang kerap luput disadari.
Barangkali terdengar sepele, tetapi dari pengalaman mengajar, perubahan satu atau dua kata saja bisa mengubah suasana kelas. Siswa menjadi lebih rileks, lebih berani bertanya, dan tidak merasa sedang “diuji” setiap saat.
Mengapa Diksi Tidak Bisa Dipisahkan dari Pengalaman Bahasa
Diksi bukan teori kosong yang hanya hidup di buku teks. Ia tumbuh dari kebiasaan berbahasa sehari-hari. Orang yang terbiasa membaca tulisan bermutu biasanya memiliki variasi kata yang lebih kaya dan fleksibel.
Sebaliknya, mereka yang jarang berinteraksi dengan teks cenderung mengulang kata yang sama dan memilih diksi secara terbatas.
Dari sini, bisa jadi kita memahami mengapa literasi sangat berpengaruh terhadap kemampuan diksi. Pendidikan bahasa seharusnya tidak berhenti pada definisi dan hafalan istilah, tetapi juga melatih kepekaan rasa bahasa melalui praktik yang berulang dan kontekstual.
Kesimpulan
Akhirnya, pengertian diksi menurut para ahli bahasa membawa kita pada satu pemahaman kunci: diksi adalah jantung komunikasi. Ia bukan sekadar urusan memilih kata yang benar, tetapi keputusan sadar yang melibatkan makna, konteks, rasa, dan tujuan penyampaian.
Kalau kamu berkecimpung di dunia pendidikan, penulisan, atau komunikasi, memahami diksi secara mendalam bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan.
Jadi, mulai sekarang, barangkali kita bisa sedikit lebih pelan saat memilih kata karena dari sanalah pesan benar-benar bisa hidup dan sampai dengan utuh.
Pertanyaan Umum (FAQ)
Apakah diksi hanya penting dalam karya sastra?
Tidak. Diksi berperan penting dalam semua bentuk komunikasi, termasuk pendidikan, jurnalistik, dan komunikasi sehari-hari.
Apa perbedaan diksi dan kosakata?
Kosakata merujuk pada jumlah kata yang dimiliki seseorang, sedangkan diksi adalah kemampuan memilih kata yang paling tepat dari kosakata tersebut.
Mengapa diksi sering menjadi masalah dalam tulisan siswa?
Karena kepekaan terhadap makna dan nuansa kata belum terlatih secara optimal melalui praktik berbahasa yang cukup.
Apakah diksi bisa dilatih?